alangkah lucunya (negeri ini)


Alhamdulillah... akhirnya ada lagi film Indonesia yang bermutu dan patut tonton. Setelah beberapa waktu kita ditimpa sama pelem setan nyaris porno dan pelem terbuka yang mengatasnamakan kehidupan Jakarta... akhirnya Alangkah Lucunya (negeri ini) dirilis.
dari awal ngeliat, waktu itu malem-malem itu pun gak sengaja lagi mindah-mindahin channel tipi, behind the scene nih film, kelabu dan k'dhany langsung ngotot pengen nonton. Bahkan besokannya sibuk nyari jadwal dimana ada film itu.

Nah, kesempatan untuk nonton akhirnya datang juga... tadi malem kelabu dan k'dhany memutuskan untuk nonton. Sempat bimbang sih, karena ada teman yang ngajak nonton Book of Eli, tapi karena kami cinta Indonesia maka kami tetap stuck sama tujuan awal.


Sempat terlambat sih, gara-gara makan dan pipis dulu. Lagian di tiket kan mulainya jam 19.15 eh, jam tujuh lewat dikit tu pelem udah mulai. Jadinya enggak nonton dari pertama deh *grrrrrhhh…*


manajer pencopet
Ceritanya sendiri berkisah tentang Muluk (Reza Rahardian) seorang sarjana manajemen yang baru lulus dan belum bekerja. Padahal sang ayah, Pak Makbul (Deddy Mizwar) pengen nunjukin ke sahabatnya, Pak Sarbini (Jaja Miharja) bahwa pendidikan itu penting (Haji Sarbini disini digambarkan sebagai orang Betawi yang enggak peduli sama pendidikan, yang penting bisa kerja dan menghasilkan uang… diperankan dengan sangat outstanding oleh Bang jaja).

Satu waktu Muluk ketemu sama pencopet kecil bernama Komet yang mengenalkannya sama komunitas pencopet lain yang diasuh oleh Bang Jarot (Tio Pakusadewo). Dari situ Muluk mikir untuk mengamalkan ilmu manajemennya pada para pencopet cilik yang jumlahnya belasan itu. Walaupun awalnya menolak tapi akhirnya Bang Jarot setuju sama penawaran kerja sama yang diberikan oleh Muluk. Memang sih ada penolakan dari beberapa pencopet itu, tapi lewat cara dan dialog yang asik akhirnya mereka nurut.


Enggak hanya diatur keuangannya (sampe akhir, jumlah tabungannya sebesar 21 juta!) tapi juga belajar ilmu pengetahuan dari Samsul, temennya Muluk yang memang Sarjana Pendidikan serta belajar agama dari Pipit, anaknya Haji Rahmat, salah satu sahabat bapaknya Muluk. Mereka ingin anak-anak itu berhenti jadi copet dan berubah jadi pengasong, supaya duit yang dihasilkan itu halal.


Ketika orang tua Muluk dan Pipit mengetahui apa pekerjaan mereka sebenarnya, mereka enggak setuju dan tetap berkukuh kalau duit yang mereka dapatkan itu duit haram. Sekeras apapun Muluk dan Pipit berusaha menjelaskan.


Adegan demi adegan dibangun dengan halus, semua menggambarkan dengan jelas gimana kehidupan kaum marjinal cilik di belantara kota yang keras. Gimana cara mereka beroperasi hingga tingkah mereka yang tetap menggambarkan, seberapapun kasarnya mereka, mereka tetaplah anak-anak.


dialognya cerdas
Yang patut dikasih jempol disini ada banyak. Pertama, karakter tokohnya. Orang-orang kayak Muluk, Samsul, Bang Jarot, Komet, Glenn, Haji Makbul, Haji Sarbini adalah orang-orang yang kita temui setiap hari. Dengan jalan pikiran yang enggak macam-macam. Semuanya tepat dan jitu merefleksikan isi kota kita.

Kedua, pastinya dialog. Tipikal film-filmnya Oom Deddy, film ini juga berisikan dialog sarat makna yang cerdas tanpa berusaha menggurui. Kata-kata singkat tapi ‘dalem’ acap kali terdengar. Baik yang bersifat kocak hingga yang rada serius.

Kelabu mencatat ada beberapa dialog outstanding dari film ini *ehem, maap ya.. mungkin gak mirip banget soalnya lupa, tapi intinya sama kok:

a. Waktu Muluk nawarin Samsul ikutan rencana usaha beternak cacing, salah seorang teman Samsul yang notabene adalah pengangguran yang kerjanya maen gaple siang malam bilang “Mending beternak buaya, cicak atau gurita… duitnya gede!”

b. Waktu ibunya Pipit yang game-freak lagi ngisi tts… dia nanya ke suaminya, H. Rahmat “siapa sih yang nentuin halal dan haram” terus H. Rahmat (Slamet Rahardjo) jawab, MUI. Terus kata istrinya, “Bukan, lima kotak kok…” dan dijawab sama Pipit, “Allah”.

c. Waktu Glenn, salah satu kawanan pencopet memukul kepala teman yang lain dengan alasan temennya tuh begok. Terus dijawab sama Komet, “ya dia pengen begok, biarin aja. Terserah dia!”

d. Pas Komet memilih untuk jadi pengasong dan salah satu temennya ikutan, terus Glenn ngelarang, Komet bilang, “Glenn, ini negara bebas”

e. Waktu Muluk dan Pipit memutuskan berhenti membantu karena takut dosa, Samsul ngotot tetap pengen bekerja. Muluk bilang, “Yang dosanya paling besar adalah para koruptor! Yang tega memakan uang rakyat dan bikin rakyatnya jadi copet!”

f. Waktu Komet dkk yang sudah jualan asongan dikejar-kejar tramtib dan diselamatkan oleh Muluk, ini dialognya:

Muluk: “kenapa mereka ditangkepin?”
Tramtib: “soalnya mereka ganggu lalu lintas”
Muluk: “yang harusnya ditangkepin tuh koruptor!”
Tramtib: “kan mereka gak ganggu lalu lintas”
Muluk: “tapi mereka Cuma mau berusaha cari rizki yang halal, biarin aja mereka bekerja semampu mereka. Mending tangkepin koruptor”
Tramtib: “lah itu bukan urusan kita”

*waktu adegan ini, aku sempat mukul paha sendiri dan bikin k’dhany kaget… aku ngerasa kalau dialog ini keren dan nampar banget!*

(lagi-lagi ini gak semirip dialog asli, tapi dengan pesan yang sama. Yang paling pol adalah para petugas tramtib-nya, mereka enggak jahat hanya menjalankan tugas saja. Apa yang ditugaskan sama atasan tanpa peduli alasan dan pertimbangan lainnya).

Hal lain yang patut diacungi jempol adalah scoring dan soundtracknya. Untuk hal ini jempol perlu diberikan kepada Oom Ian Antono. Yups, gitaris Godbless inilah otak di balik lagu-lagu ‘berisi’ di film ini. Lirik curhat tapi enggak cengeng dengan musik rock yang keras bikin lagu-lagunya sesuai sama kerasnya hidup para pencopet cilik itu. Bahkan di scene mandi, ada satu lagu (gak tau judulnya) yang bercerita tentang Tuhan dan keinginan kembali ‘bersih’.

makin cinta sama Indonesia
Wew! Intinya sih nih film patut banget ditonton. Sarat makna dan cerdas menggambarkan kehidupan. Kalau pengen tau Jakarta dan isinya, ya tonton saja film ini. Semua ada, mulai dari ibu-ibu yang keranjingan maen game sampe gak ngurusin rumah, stereotype orang jaman dulu yang pengen anaknya berlimpah materi, sarjana-sarjana pintar yang masih nganggur karena gak punya koneksi, anak jalanan dengan mulut sembarangan yang terkadang kasar, hingga calon wakil rakyat yang sibuk kampanye dan pamer harta.
Semuanya nyata dan bukan pura-pura.

Terserah mau bilang apa, tapi inilah Indonesia. Nonton nih film bikin Kelabu makin cinta sama Indonesia, dengan segala keburukan dan keindahannya. Harusnya sih para koruptor nonton juga, biar malu. Tapi kata temanku, mereka udah gak punya malu *dan gak punya kemaluan* jadi percuma.


Apapun, terimakasih buat Oom Deddy Mizwar dan tim yang sudah dengan sangat cermat menampilkan secimit gambaran kehidupan pinggiran kota besar.


Oh iya, ada yang sempat komplen soal akhirnya yang nanggung. Kalau Kelabu bilang, itu memang akhir dari semua masalah kita. Enggak jelas juntrungannya. Enggak ada pembenaran dari film ini, karena toh film ini bukan menentukan benar atau salah. Semua balik ke kita *dan paling penting, semua kembali pada akidah kita*.

Kelabu sangat merekomendasikan film ini untuk ditonton ramai-ramai. Mudah-mudahan bisa ngasih manfaat dan nambahin semangat untuk jiwa kita yang mulai kering rasa bangga sama negeri ini.

Negeri ini memang lucu, beneran loh...

0 komentar: (+add yours?)

Posting Komentar

ke lagu ke labu