Day 1 - Lost At Sea

0 komentar

 DAY1

LOST AT SEA

aku ingat sekali, hari itu adalah hari Minggu. Minggu pagi yang dingin. Hujan turun hingga subuh, membuat aktivitas 'ngapel' muda-mudi di luaran sana terganggu. Minggu pagi itu dingin, aku terpaksa mengenakan cardigan abu-abu kusam yang harusnya sudah dicuci sejak dua minggu lalu, tapi karena hujan lagi sering turun, ku putuskan untuk menundanya dengan alasan bakal susah kering -dan hanya itu satu-satunya cardigan yang ku bawa dari rumah.


saat sandal jepitku menginjak kerikil-kerikil kecil di depan teras, ku rasakan angin berhembus perlahan melewati celah antara rambut yang dikuncir sekenanya, dengan leher belakang yang terbuka. Ku gerak-gerakan kepala dan tubuhku, perasaan hangat mulai menjalar pelan. Ku langkahkan kaki setelah mengunci pintu depan terlebih dahulu. Minggu lalu, aku lupa mengunci pintu, dan itu menyebabkan aku tidak bisa menikmati suasana pantai di Minggu pagi karena panik sendiri dan memutuskan buru-buru pulang hanya untuk menemukan bahwa rumahku aman-aman saja tapi aku terlanjur malas untuk kembali ke pantai lalu memutuskan untuk tiduran di sofa depan televisi untuk menonton saluran belanja.


seiring langkah, kerikil pun berganti jadi pecahan karang dan kulit kerang yang berkumpul di sisi kering lautan. Ku lepas sandalku dan ku biarkan mereka tergeletak di antara kerikil dan pasir. Aku sengaja melakukannya, karena terkadang, ombak besar datang tiba-tiba dan menyapu bibir pantai sejauh mereka bisa. Sudah dua sandal jepitku menghilang di lautan, terbawa ombak. Aku benar-benar berharap perjalanan sandal itu berakhir di bebatuan besar yang ada di pantai di daerah Malta atau Sukabumi, dan bukan mengapung di lautan luas lalu tertelan tanpa sengaja oleh ikan besar yang lewat, lalu 10 tahun mendatang akan ada berita soal seekor Ikan Hiu langka yang tewas karena menelan sepasang sandal jepit.


kini pasir basah terasa di kakiku, tiap kali ombak menerjang pelan, kakiku pun seolah terhisap masuk ke dalam pasir. Aku sangat menikmati perasaan ini. Ku hirup udara sebanyak mungkin, memenuhi kapasitas paru-paru dengan udara berbau laut yang khas. Tanpa ada bau asap rokok penjajah yang lebih memilih menyelamatkan rokok mereka dibanding menarik anak mereka yang masih kecil lalu tergulung ombak dan menangis. Minggu pagi di pantai memang selalu sepi. Itu kenapa aku memilih untuk berjalan-jalan di pantai di waktu-waktu begini.


ku pejamkan mataku. Hembusan angin kali ini menggelitik hidungku dan lalu mengirimkan sinyal dingin ke otak. Aku menggigil. Ku eratkan cardigan tanpa kancingku, dan berjalan lebih ke tengah. Aku berdiri di pinggir pantai, air laut yang berwarna abu-abu pucat kini sudah setinggi betisku. Aku tak peduli riak-riak ombaknya mengenai celana pendekku yang mirip celana olahraga yang hits di tahun '80an. Mataku masih terpejam, ku rasakan deburan ombak menerjang kakiku lagi. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berat mengenai kakiku. Ku buka mata, dan menoleh ke arah bawah, nampak sebuah benda berwarna gelap bergerak di antara kedua kakiku. Rasanya keras, tapi bukan seperti kayu, lebih seperti tumbler yang dingin.


ku picingkan mata dan ku dekati benda itu. Bukan itu bukan tumbler! itu seperti tangan, jari-jari panjangnya yang berlendir bergerak cepat ke arah wajahku. Tangan itu dingin, tapi wajahku seperti terbakar. Lalu semua gelap.


Minggu pagi di pantai memang selalu sepi. Hanya ada dua pasang sandal jepit tergeletak sembarangan di ujung kerikil, tak jauh dari rumah pantai tua yang ditinggali oleh seorang penulis muda yang kerap datang ke sana untuk menulis. 


Hidup Itu Harus Disyukuri.

0 komentar

 gue sadar banget, di masa seperti ini, masih punya pekerjaan dengan gaji yang ok itu adalah sebuah berkah yang harus disyukuri.

ke lagu ke labu