merah itu darah [ceritamini]

Tidak ada yang menyadari istimewanya gadis kecil yang sedang duduk manis di ruang tunggu di ruang dokter siang itu. Rambutnya yang panjang kehitaman tergerai lurus sebahu, dengan pita sebagai penghias di ujung kepala. Matanya bundar dan berwarna cokelat. Senyuman terpatri di bibir kecil ketika pandangannya jatuh ke sebuah aquarium yang memajang dua ekor ikan mas cantik di dalamnya.


Nomer 27” terdengar suara suster yang duduk di ujung ruangan. Sepasang suami istri yang masih muda bangkit dari duduknya, dua kursi dari si gadis kecil, dan kemudian masuk ke ruang dokter. Decit besi bersentuhan dengan ubin terdengar dari kaki kursi yang digeser suster, ketika ia bangun untuk pergi ke kamar kecil. Ruangan yang tak terlalu besar itu kini hanya berisi tiga orang. Gadis kecil, ibunya serta seorang pemuda bermasker di seberang meja yang penuh dengan tumpukan Koran dan majalah.


Tak terdengar suara apapun kecuali detik jam dinding warna putih yang tertempel di tembok ruang tunggu. Sang gadis kecil kemudian berdiri dan berjalan menuju aquarium sementara pemuda mulai memejamkan matanya, kepalanya pusing, badannya hangat dan ia butuh tidur.


Aquarium itu tak terlalu besar. Bentuknya bundar. Selain ikan, hanya ada dua batang rumput laut artificial sebagai penambah keindahan. Aquarium itu terletak di sebuah meja bundar kecil yang tak terlalu tinggi. Sang gadis makin mendekat, tangannya terangkat dan mulai masuk ke dalam air. Air bergolak dan berkecipak ketika tangannya bergerak berputar dalam tempo pelan. Dua ikan di dalamnya nampak bingung. Dengan penuh keingintahuan mereka mendekat ke tangan itu.


Hap…


Seekor ikan masuk dalam jeratan jari-jari si gadis kecil. Senyum makin lebar kini tersungging. Tangannya ditarik dari dalam air, dengan ikan yang menggelepar liar di sela jarinya. Sekali lagi mata bundar cokelat itu memandang pada si ikan yang kini diam pasrah menanti hidup selanjutnya. Pelan tapi pasti mulut sang gadis terbuka, dan memaksa ikan untuk masuk dalam kegelapan abadi di dalamnya.



10 tahun kemudian…


Sepasang tangan nampak bergelayut dari balik kursi kayu berwarna kuning. Mereka terikat, ada tali tambang putih bernoda cokelat kemerahan yang menyatukannya. Ruangan itu temaram, satu-satunya penerangan berasal dari lampu yang bergoyang pelan di sudut ruang. Hanya ada dua kursi kayu kuning dan satu meja makan kecil di dalamnya.


Tangan yang tadi bergelayut tiba-tiba tersentak. Menandakan empunya mulai bergerak. Rintihan pelan terdengar. Tak jelas karena mulutnya disumpal dengan kain putih. Matanya tertutup, ditutup dengan menggunakan lakban hitam yang pastinya akan sangat perih bila nanti dibuka. Dengus nafas terdengar cepat.


Sosok semampai nampak duduk di kursi kuning di seberangnya. Ketika ia bangkit dan berjalan mendekati lampu, nampak bahwa sosok semampai itu adalah seorang gadis cantik berambut hitam pekat yang dikuncir tinggi. Matanya cokelat dan tajam, sambil melirik sosok terikat di depannya, ia memegang rantai lampu dalam usaha membuatnya diam tak bergerak.


Sebelah tangannya memegang kapak kecil, seperti yang biasa ditemukan di dalam bus kota untuk memecahkan jendela dalam keadaan darurat. Ia beranjak ke sosok terikat yang kini mulai merintih lebih keras. Mata cokelatnya bulat membesar ketika tangannya terangkat.


Wuzz…


Darah mengalir pelan diantara kapak dan kulit kepala si sosok terikat diiringi teriakan tertahan dari mulut yang tersumpal kain. Tak lama, ruangan kembali sepi dan gelap. Lampu telah dimatikan. Sang sosok semampai juga sudah tak ada lagi.

1 komentar: (+add yours?)

Unknown mengatakan...

Wow...aku ketinggalan kabar, ternyata penulis cerita yg kukenal jenaka, gokil ide2nya, horror juga skrg hehehehe...smangattss Jeng. Nggak ada istilah berhenti, bagi penulis. Bukan krn deadline, bukan karena kita terikat satu lembaga saja, tapi karena kita "cinta"...

Posting Komentar

ke lagu ke labu