"Andai aku pakai kartu itu..." Keluh Harry



Ini bukan pertama kalinya Harry berdiri di tengah ruangan bundar yang dipenuhi barang-barang aneh. Pensieve, Pedang Godric Gryffindor hingga sangkar kosong yang tadinya diisi oleh Fawkes, Phoenix cantik kesayangan sang kepala sekolah.Puluhan lukisan yang menggambarkan para mantan kepala sekolah mengelilinginya. Semua bergumam pelan, terdengar seperti dengung di kepala Harry. Ia memalingkan wajahnya lalu memejamkan matanya sebentar. Tangannya refleks memegang bekas luka berbentuk sambaran petir di dahinya. Tidak, tidak sakit. Ia hanya mencoba menghangatkan dahi yang tiba-tiba terasa dingin.

Hati Harry mencelos mengingat apa yang akan ia hadapi tak lama lagi. Seingatnya belum pernah ia merasa segugup ini sejak pertandingan Quidditch pertama waktu ia masih duduk di kelas satu. Ia juga belum pernah berhadapan dengan kepala sekolah dalam situasi begini. Bukannya ia terlampau sering menghabiskan waktu dengan sosok berhidung bengkok dengan kacamata bulan-separonya, namun dalam beberapa kesempatan, ia dan kepala sekolah telah berbicara panjang lebar. Soal masa depan, masa lalu dan bayang-bayang kematian yang mengabut di hadapan Harry.

Hidupnya memang keras, tapi Harry bukan pengecut yang lalu mundur dan bersembunyi di bawah rimbunan mistletoe. Ia adalah pemberani yang selalu menentang bahaya. Tak salah kalau ia ditempatkan oleh Topi Seleksi di asrama Gryffindor, yang memang menilai lebih jiwa ksatria seseorang.

Tapi jujur, Harry meneguk ludah, belum pernah ia segugup ini. Rasanya bahkan lebih gugup daripada waktu mengajak Cho ke pesta dansa. Pintu ruangan terbuka, jubah kelabu bersibak ketika ada yang melangkah masuk. Mulut Harry terasa kering. Dumbledore duduk di kursi panjang, tepat di bawah sebuah lukisan kosong. Mata biru berkilaunya tepat memancang pada Harry.

"Jadi..." Suara Dumbledore begitu lembut. Ingin rasanya Harry mendengar ia berteriak, rasanya suara Dumbledore terdengar kecewa. Dan Harry tak suka itu. "Jadi..." Sambungnya. Jari-jari panjangnya saling berkait. Mata birunya masih memandang Harry lekat-lekat.

"Errr..." Tak ada kata yang keluar dari kerongkongannya. Mulutnya masih kering. Ia setengah berharap sedang berada di rumah sakit dan sebentar lagi Madam Pomfrey masuk membawakannya skele-gro, paling tidak ia akan merasa sakit, bukan hampa seperti sekarang.

"Harry Potter..." Dumbledore berkata lagi. "Jelaskan padaku, nak... Jelaskan mengapa ini bisa terjadi?"

Harry hanya menggeleng. Jari panjang Dumbledore sekarang memegang sebuah perkamen berstempel Hogwarts yang bisa Harry kenali dari jauh.

"Tolong jelaskan padaku, mengapa kau belum membayar iuran sekolah selama empat bulan?" Tanyanya lagi.

Harry terdiam. Dalam benaknya terbayang tampang bingung Ron dan wajah cemas Hermione. Ia bahkan bisa mendengarnya berkata dengan suara tingginya, "kan sudah kubilang... Ganti kartumu!"

"Nah 'nak... Aku menunggu..."

"Errr... Maaf Profesor, aku... Err..." Harry mencoba membasahi kerongkongannya. "Uang bayaran yang sudah Hagrid ambilkan untukku dari Gringgots, aku gunakan untuk membeli pulsa...aku butuh pulsa untuk menghubungi Lupin dan Sirius karena semenjak Umbridge mengawasi jaringan Floo, aku tak bisa berbicara dengan mereka. Dan aku butuh mereka..." Kata-kata Harry terlontar tanpa ia bisa menahannya.

Dumbledore menghela nafas, ia bersender pada sandaran kursi yang tinggi. Jari-jarinya saling mengait lagi. Kemudian ia bangkit, berjalan ke arah mangkuk yang Harry tahu adalah Pensieve, mencabut tongkatnya dan menarik benang keperakan dari sisi kepalanya.

"Mengapa tidak kau ikuti saran Miss. Granger untuk mengganti kartumu dengan Simpati? Lebih irit lho..." Katanya perlahan sembari duduk kembali di kursinya.

Harry terdiam. Menyesali keputusannya tetap menggunakan kartu lama yang sekarang membuatnya kesusahan.

1 komentar: (+add yours?)

Unknown mengatakan...

Waw..pesan sponsor banget nih. Apa jangan2 memang udah dikontrak provider? Kalau blm, seharusnya mrk melihat dan membaca ini...gimana musti promo tapi nggak vulgar...smooth... hehehe...keren, cool...

Posting Komentar

ke lagu ke labu