Masih Tentang Metal

0 komentar

Oh iya,

dan saya bukan anak metal.

Terimakasih :)

masih, kenapa metal?

0 komentar

Ya kenapa enggak?

Metal.
Well,  segahar namanya,  genre ini memang gahar.
Tapi bukan berarti karena aku mau sok gahar,  lantas dengerinnya metal.
Bukan juga karena alamat emailnya ajeng_metal xD.

Entah kenapa,  this kind of music could really relaxing. Benar-benar bikin tenang. Bukan sekedar ikut-ikutan,  tapi kenyataan.

Saat pusing,  sakit kepala,  ngantuk,  sedih,  marah,  bodoh dan bosan. Lapar atau butuh me time,  di sanalah aku akan berada. untaian nadamya jauh dari kata menjemukan,  meski terkadang butuh waktu untuk mencerna liriknya,  tapi emosi yang tertuang lewat distorsi atau cacian yang terekam  lewat teriakan mampu menghapus duka dan merajut asa.

Jadi,
Kenapa metal?
Ya kenapa enggak?

Sama sekali bukan untuk terlihat keren atau apa. Kalau memang hati sudah bicara,  kamu bisa apa?

Dan aku jarang banget bilang "aku suka lagu metal."
Sama sekali tidak.
Lebih suka menyebutnya,  lagu paforit.

Tidak berharap akan dimengerti. Toh ujungnya akan mati.

Kenapa Harus Metal?

0 komentar

Kenapa enggak?

#kittentounge

0 komentar

bahan:
100 gr tepung terigu
100 gr butter
85 gr gula halus
1 butir putih telur kocok kaku
1 sdm kuning telur
vanili 
garam

How to:
- Campur tepung terigu dengan sejumput garam dan vanili. Sisihkan
- Kocok butter, gula halus dan kuning telur hingga mengembang. Kurang lebih 15-20 menit, sampai warnanya pucat menjurus putih.
- Kocok putih telur hingga kaku sampai tidak tumpah meski mangkok dibalik. Tips: jangan sampai putih telur tercampur kuningnya, walau cuma setitik karena akan membuat putih telur sulit kaku. Jangan juga tercampur air, minyak dan zat-zat lainnya.

Masukkan terigu sedikit ke dalam adonan kuning telur lalu aduk rata. Masukkan putih telur sedikit dalam adonan kuning telur, aduk rata. Terus bergantian hingga terigu dan putih telur habis.

Masukkan adonan dalam plastik segitiga lalu gunting ujungnya dikit lalu tuang adonan dalam loyang lidah kucing yang sudah dilumuri mentega. Panggang hingga cokelat keemasan [150-180 derajat celcius, kurang lebih 15-25 menit]

The Ancient of Covenant

0 komentar




Setiap lagu itu punya kekuatan masing-masing untuk mengajak mereka yang mendengarkan menguak kenangan atau malah menciptakan imaji yang berbeda-beda. Pun dengan lagu yang ini, “Ancient Covenant” miliknya The Faceless.

The Ancient Covenant by The Faceless on Grooveshark

Bukan keseluruhan lagunya sih, hanya bagian outro. Saat suara robotic intergalactic memenuhi ruang dengar di tengah lajunya kehidupan rimba ibukota.

Sepertinya, lagu yang diambil dari album kedua mereka, Planetary Duality ini bercerita soal gimana kaum dulu ternyata memang sudah tahu bahwa ras alien akan suatu saat menggilas ras manusia di bumi. Keterbukaan mereka menjadikan kaum dulu [mungkin Mayan atau Aztec –mungkin] immortal dan mendapat tempat terbaik di bumi kelak.

-atau mereka memang alien?
*jadi inget Ancient Alien

Ini liriknya,
Part dimana
Aku suka pengen nangis tiba-tiba..

Ancients join the ranks of gods for their curses of destined generations


Sekilas info, Planetary Duality ini memang based on bukunya David Icke, The Children of Matrix yang menceritakan soal bagaimana ras alien ternyata sudah menguasai dan mengontrol dunia sejak dulu.   

Yours Forever

0 komentar

lagu ini kece amatan! Happy aniversary Papanda Dhany Yours Forever by John Mellencamp on Grooveshark

Ojek Jangan Di Ejek

0 komentar

Ojek itu sekarang sudah jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia kawasan tengah kota. Kalau dulu, artis naik ojek saja jadi bahan pergunjingan. Karena dirasa, “ohmen.. masa artis beken naik ojek-kenapa nggak naik taksi sih kan duitnya banyak?”, sekarang sudah biasa.

Yah, kecuali kalau yang naik itu Obama. Dia sih apa-apa dikit yang berhubungan sama Indonesia, ya mesti jadi pembicaraan.
*inget satay ayam-nasi goring dan menteng

balik ke ojek.

Secara ya, halanan Hakarta *no ini bukan typo –sungguh keham adanya. Macet dimana-mana. Janji temu dimana-mana. Apalagi lah yang bisa mengantarkan diri ke tempat lain dalam waktu singkat? Mengingat waktu tempuh yang abnormalnya dijalani sekitar 15 menit, harus rela ditambah jadi 45 menit di waktu normal.
*cat: waktu abnormal adalah saat-saat tenang. Seperti hari-hari akhir puasa atau setelah banjir besar.

Saking kuatnya ojek, sampai-sampai kalau ada janji ketemuan, di otak langsung mikir jalan mana yang bisa ditempuh dengan ojek. Dan kira-kira berapa ongkirnya.

Beberapa waktu lalu, I mesti pergi ke tengah kota. Karena badan kurang enak, suasana kurang asik, akhirnya diputuskanlah untuk menggunakan ojek agar sampai di tempat tujuan dengan selamat dan cepat. Jadilah, dari Cileduk – Kuningan berojek-ria dengan ongkos: 70rb plus sebotoh pucuk harum.

Nah, semalam aku bermimpi ~ mimpi buruk sekali..
*eh apa sih

Semalam aku juga ada janji temu dengan seorang teman untuk suatu hal di bilangan selatan ibu kota. Awalnya mau naik bus, karena jaraknya tidak terlalu jauh. Etapi ternyata, pas jam pulang kantor , hujan turun dengan derasnya. Mengakibatkan si pacar tidak bisa datang *mbak, ini kan bukan lagu dangdut!

**iya maaf, kelepasan

Karena hujan itu, aku berangkatnya mepet-mepet. Setelah SMS menjelaskan akan datang telat, aku beranjak menuju ojek depan STC. Tawar menawar, dia mengajukan 30rb dan aku keukeuh 25rb. Sok jual mahal, lalu pergi –eh malah gak dipanggil kembali. H U F T. ya sudah, jadinya naik kopaja 19 turun di seberang Pasaraya Blok M. dari situ, niatnya mau naik ojek. Karena aku pikir, akan lebih murah dari tawaran ojek pertama depan stc tadi.

Ndilalah…

Ojek kedua yang aku temui berasal dari Sumatera Utara, terlihat dari aksen dan gesture tubuh yang kebatak-batakan. Dengan enteng si abang itu membuka harga 5orb!
Astaghfirullah… kebangetan emang…

“Emang maunya berapa?” Tanya si abang berbadan besar itu
“Ya elah bang, kalau saya sebut ntar marah… nggak usah deh, nggak papa.. terima kasih,” kataku santai sambil ngeloyor meninggalkan si abang apeu itu.


20 m dari situ, ada ojek lagi. Kali ini bapak-bapak sudah agak tua dan berasal dari Jawa. Pas aku bilang mau ke sini, dia buka harga 30rb.
“Pak, masa dari Senayan 30rb, dari sini juga segitu.. saya pikir dari sini lebih murah..” kataku agak kaget. Tapi tetap pasang senyum dan menggunakan aksen Njawi, biar dianggap akrob gitu. “10 atau 15 deh ya..”
“Yah neng, gak deh kalau segitu..”  tampiknya kembali mundur.
“Ya sudah nggak papa Pak. Makasih,” kataku tetap senyum. “Saya jalan aja ke sana *nunjuk sembarang*”

Tiba-tiba entah ada angin apa, seorang bapak ojek menghampiri. Dengan sedikit panic dan cukup bikin kaget.

“Tunggu di sini neng, pasti ada kok ojek yang mau.. udah tenang aja. Diam di sini dulu..” katanya cepat sambil berjalan ke arah kumpulan ojek.
“Pak, nggak usah.. kalau nggak ada ya nggak apa-apa…” teriakku agak kaget. Tapi dia keburu berlalu. Tak lama, dia kembali sama ojek yang bersedia mengantarkan aku ke lokasi dengan ongkos 15rb saja.

Inti dari cerita ini:
Masih ada orang baik!
Sok asik aja sama kang ojek. Mereka juga manusia kok.
*apasih?


wacana

0 komentar

bahwa sesungguhnya keberadaan wacana itu sungguh menarik kait untuk terus maju.
sekian.

Digitalize Your Ears

0 komentar

Taik ah judulnya!

Ini semua gara-gara tiba-tiba nyangklong di blog beberapa penggiat skena musik *apalahapadeh...
Robin Malau dan Widi Asmoro
*nama pertama sih bukan tanpa sengaja-tapi emang searching lantaran satu hal xD.

Ada salah satu postingan yang ngebahas soal rilisan fisik dengan digital. Setelah baca-mundarmandir-lalu makan bengbeng, sok-sokan mengambil kesimpulan sendiri, 

Bahwasanya:
"Sepertinya rilisan fisik macam CD, vinyl atau kaset *cuma mas apink yang bisa! haha...* bukan lagi sebagai media utama untuk mendengarkan musik. Baca: MENDENGARKAN musik."

Yep, banyak media lain yang jauh lebih asik untuk mendengarkan musik.

Digital.

Tinggal unduh.. voila, bisa didengerin langsung.
Karena toh, agak jarang sekarang anak nongkrong lawson bawa leptop demi wifi gratisan lalu puter cakram di dvd-rom mereka
*eh bener kan analoginya?
**ini ngikik beneran...

eniwei..
Berapa orang sih yang 'rela' ngeribetin diri dengan membawa, 1 smartphone - 1 CD player - dan beberapa CDs dalam tas kalau ada 1 smartphone berisikan lagu-lagu hasil unduh yang tinggal tancep earphone?

Seperti juga Mas Men saya pernah bilang,
"Ngapain pake bawa-bawa player, dengerin aja lagu di henpon" - Pradipta, 2013

Iya. Seperti itu.

Tapi jangan sedih brur...
bukan berarti CD akan mati.
Lihat tuh vinyl. 5 tahun lalu, mana lah cakram segede piring buah ini dilirik oleh kaum mainstream *kalau tidak mau disebut hipster* tapi sekaraaaaang.. ohmen.. lo gak gaul kalau lo gak koleksi vinyl.

Ok, ini mungkin sounds wrong.. i know lots of peeps yang memang appreciate the music by buying vinyls - bukan hanya mereka yang 'pura-pura' demen padahal ya ra ngerti x/ Tapi hey, memang seperti itu kan yes? 


Jadi sebenarnya ini pilihan sih. Kalau memang anda tidak mau ribet dengan keharusan masang cakram untuk dengerin, mungkin satu-dua single hits, akan lebih baik memilih digital music sebagai teman.
*walau kadang agak ribet juga step-step untuk unduh legal*

Sedang anda yang loyal dan ingin menyimpan memory kece soal band favorit, CD tetap bisa jadi pilihan. Ini peluang buat musisi untuk makin mendekatkan diri dengan fans. Buatlah gimmick-gimmick CD yang bikin CD anda long-lasting.
*bukan kolor-bukan kondom*

**jadi inget, dulu tiap interview suka nanya, "ada gimmick ada di CD baru" dan banyak dari mereka yang nggak engeh dan terkesan tidak peduli, bahkan ada yang jawab, gimmick di CD ini adalah: ada lirik di sleeve #InterviewApeu

Lalu intinya?
CD itu mungkin tak akan mati, tapi berjalan pelan, steady dan akhirnya hanya waktu yang bisa memilah, mana sahabat CD mana sahabat miras *eh salah blog*
maksudnya, mana sahabat CD mana yang pura-pura..
yah. kira-kira begitulah...

ke lagu ke labu