cangkul ajaib

0 komentar


Tak bisa diduga, kenapa orang itu tiba-tiba melemparkan cangkul yang sedang ia pegang dengan cepat ke arahku. Saking cepatnya, aku yang sering dianggap tukang bajaj karena jago ngeles pun tidak bisa menghindar. Rasanya seperti dihantam dengan kabar buruk, seperti menyadari kalau tukang es kelapa langganan yang berjualan di depan komplek rumah tidak jualan di hari yang terik, padahal kamu sengaja berjalan kaki –dan bukannya naik angkutan umum, hanya demi seplastik es kelapa dengan es batu yang terbuat dari air kali. Iya, rasanya bagai tersambar petir
di siang bolong, hantamannya terasa begitu keras. Sekejap semua gelap.
Ringan. Sekarang badanku terasa ringan. Padahal baru tadi pagi aku membereskan ulang lemari setelah hampir seluruh isinya aku keluarkan demi mencari baju yang muat untuk ukuran badanku yang nampaknya naik beberapa kilo hanya dalam waktu singkat. Kesibukanku di kantor yang baru mengharuskan aku lembur setiap malam –tentu dengan banyak bekal, membuatku tak sempat lagi membeli berbagai perlengkapan pribadi, termasuk pakaian. Tapi sekarang, rasanya ringan sekali. Aku bahkan merasa seperti melayang.

Melayang?
Tunggu, aku memang melayang. Aku mencoba menggerak-gerakan kakiku seperti dalam gerakan pemanasan sebelum yoga, rasanya bebas. Tak ada tanah keras yang aku pijak. Aku menunduk, aku memang terbang.

Samar-samar kulihat sesosok tubuh berbaju merah yang sama persis dengan baju yang aku pilih tadi pagi. Dalam hati aku bersumpah, tak akan pernah mengenakannya lagi karena ada orang lain yang juga memakainya. Lambat
laun, sosok tersebut semakin jelas. Ia juga berkacamata, dan nampak, sebuah tas
kulit berwarna cokelat tergeletak di sisi tubuhnya. Ini tak mungkin sebuah
kebetulan, tak mungkin kami juga memiliki –dan menggunakan tas yang sama hari
ini. Ini tak mungkin sebuah kebetulan.

ke lagu ke labu